Ki Asep Sunandar Sunarya Seorang Maestro Wayang Golek Tanah Sunda


Wayang Gorek merupakan seni budaya Indonesia yang kaya akan sejarah dan tradisi. Wayang Gorek Sunda menempati tempat istimewa dalam keanekaragaman budaya Indonesia.Salah satu maestro yang tetap bangga dengan kesenian ini adalah Ki Asep Sunandar Sunarya. Ia ditakdirkan oleh penguasa alam, Tuhan, untuk menjadi sosok dalang sejati. Ia menyatu sepenuhnya dengan dunia Wayang Gorek yang ia geluti. Perjalanan dan prestasi Ki Asep Sunandar Sunarya, sosok yang bekerja keras melestarikan dan merevitalisasi kesenian Wayang Gorek Sunda.

Ki Asep Sunandar Sunarya lahir pada tanggal 3 September 1955 di Bandung, Jawa Barat. Ia berasal dari keluarga dengan tradisi Wayang Gorek yang kental. Ayahnya, Abah Sunarya, adalah seorang dalang terkenal dan mewariskan ilmu seni wayang golek kepada para putranya. Ki Asep dikenalkan dengan seni wayang golek oleh ayahnya sejak usia dini, dan inilah awal  perjalanan panjangnya memasuki dunia seni tradisional Sunda. Ki Asep Sunandar Sunarya memulai karirnya sebagai dalang wayang golek sejak usia dini. Berdedikasi dan berbakat secara alami, ia belajar keras dan dengan cepat menjadi dalang yang disegani. Keterampilan pedalangan dan kemampuannya menciptakan cerita  menarik menjadikannya salah satu dalang terbaik di Indonesia. 

Kiprahnya dalam memasyarakatkan kebudayaan wayang golek 

Ki Asep Sunandar Sunarya tidak sebatas pertunjukan wayang di panggung adat saja. Ia pun mempunyai visi yang lebih besar untuk membuat kesenian wayang golek Sunda semakin dikenal luas. Kesenian wayang ini ia bawa ke berbagai festival seni dan pertunjukan internasional, serta tampil di berbagai program televisi. Melalui langkahnya tersebut, ia berhasil menciptakan minat masyarakat  luas terhadap seni Wayang Golek. Berkat kepiawaiannya yang tenang, berbagai penghargaan silih berganti diraihnya baik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional. 

Mungkin kalau bukan karena Ki Asep Sunandar Sunarya, tokoh Cepot tidak akan mungkin sepopuler sekarang. Beliau memperkenalkan apa yang oleh sebagian orang dianggap sebagai kesenian kampungan belaka dengan memperkenalkan hal-hal seperti tokoh wayang Cepot yang bisa mengangguk, wayang buta yang memuntahkan mie, atau sosok Arjuna dengan busurnya, dan Bima dengan gada yang perkasa. Ki Asep Sunandar berhasil semakin meningkatkan kualitas wayang golek bahkan dengan menciptakan beberapa pakaian wayangnya yang tampak mewah.
 

Materi dan ketenarannya ia peroleh berkat perjuangannya yang tiada akhir dengan berbagai aspek kehidupan yang seringkali tidak menyenangkan. Kegembiraan pasti datang sebelum kesedihan. Sepanjang perjalanan Ki Asep, suka dan duka kerap datang bersamaan. Banyak orang tidak menyadari betapa sulitnya jalan menuju karir profesional. Di awal karirnya, Ki Asep kerap mendapat kritik negatif dari banyak orang, terutama ayahnya (Abah Sunarya).

Setiap selesai pementasan, Abah selalu bilang "goreng" yang artinya "buruk", dari apa yang dipentaskan oleh Ki Asep. Abah adalah seorang orang tua yang tidak pernah sulit untuk tertawa. Anehnya, saat Ki Asep menampilkan komedi, dia menontonnya dan hanya tertawa. Menurut  Ki Asep, segala kritik  yang disampaikan padanya dapat digunakan untuk meningkatkan inovasi dan kreativitas.
Ki Asep mempunyai prinsip, Saya menjadi apa seperti saat ini adalah berkat adanya hari kemarin.

"Saya harus berterima kasih kepada semua orang yang mengkritik saya, entah karena tidak suka atau juga karena cinta. Itu terserah," kata Ki Asep. Saya juga akan menyebutkan berbagai upaya dan usaha yang telah saya lakukan agar kesenian wayang golek Sunda yang mempunyai nilai abadi ini tetap terpelihara setiap saat, apalagi di masa sekarang yang banyak terdapat kesenian asing yang kemudian menyebar ke Indonesia dan masyarakat Sunda pun merasakannya.

Jika Wayang Golek tidak berkembang melalui inovasi maka budaya lain akan mengambil alih. Mengenai Tuhan, hanya ada satu Tuhan. Pakem (aturan agama), wayang golek, dan adat istiadat semuanya tidak sama. Saya pikir wayang golek bukanlah sesuatu yang statis, bahkan jika itu memang harus disakralkan. Dari sisi lain, saya juga harus memberikan keleluasaan kepada mereka yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat saya.

Tidak ada gunanya atau manfaatnya memilih persahabatan karena ada perbedaan dan hal yang bisa diartikan berbeda-beda. Yang saya lakukan adalah memodifikasi Wayang Golek melalui inovasi karena saya yakin  seni Wayang Golek Sunda sangat kaya akan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. "Itu kan manusia yang menilai apa yang sudah saya lakukan. Hak masyarakat untuk saling belajar, tapi saya tidak mau belajar. Saya dalang yang belajar," ujarnya.

Mulai Asep Sukana Hingga Asep Sunandar Sunarya 

Mimpi adalah  misteri yang banyak tafsirnya. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai mimpi, namun banyak juga yang meyakini bahwa mimpi adalah media Tuhan untuk “mengkomunikasikan” ilmu Tuhan kepada manusia, dan tentunya banyak sekali penafsirannya. Kita tidak bisa memahami secara detail hubungan antara mimpi dan kenyataan.

Namun kenyataan inilah  yang dialami oleh seorang ibu di Desa Giriharja Bandung pada tahun 1955. Namanya Tjutjun Jubaedah (biasa dipanggil Abu Cucun) dan ia adalah istri dari Ki Sunarya (biasa dipanggil Abah Sunarya), seorang dalang terkenal pada masa itu. Sepasang suami istri ini dikaruniai 13 orang anak : Suherman Sunarya, Ade Kosasih Sunarya, Miktarsih Sunarya, Otah Saodah Sunarya, Ilis Sunarya, Nanih Sunarya, Asep Sunandar Sunarya (Sukana), Imas Sunarya, Iden Subrasana Sunarya, Nunuk Sunarya, Permanik Sunarya , Ugan Sunagar Sunarya dan Agus Sunarya.

Ini adalah episode yang menggambarkan hubungan antara mimpi dan kelahiran. Ketika  Abu Tjutjun sedang mengandung tujuh bulan, ia bermimpi bahwa ketika anak ketujuhnya lahir dalam kandungannya, ia tidak akan diberi nama. Pada tanggal 3 September 1955, Abu Tjutjun melahirkan putra ketujuhnya, berjenis kelamin laki-laki. Saat teringat mimpinya, maka bayi tersebut belum diberi nama oleh Abu Tjutjun.

Kita tidak tahu apa kaitan mimpi tersebut dengan niat Abah Sunarya. Pasalnya, bayi tersebut “diserahkan” kepada adik Abah, yakni Ibu Eja (biasa dikenal dengan Ma Jaja), saat berusia 15 bulan. Karena kebetulan juga, mereka tidak dikaruniai anak. Sejak saat itu, hak asuh bayi tersebut menjadi tanggung jawab Ma Jaja (disebut juga bibi bayi), dan karena  bayi tersebut tidak memiliki nama, tentu saja Ma Jaja khawatir ketika tetangganya menanyakan  nama bayi tersebut. 

Untuk menyiasatinya, Ma Jaja berpikir keras hingga muncul ide untuk menggunakan nama Sukana, yang merupakan semacam akronim dalam bahasa Sunda yang berarti “sa suka na” (suka suka atau sesukanya). Kemudian Sukana menjadi semacam “nama” untuk bayi. Ide ini merupakan “jalan tengah”, atau solusi yang tepat, karena dengan cara ini Ma Jaja tidak melanggar pedoman sang kaka yakni Abah Sunarya.

Salah satu nama panggilan untuk laki-laki Sunda adalah Asep (bersama Acep, Encep atau Ujang). Setelah itu, maka bayi tersebut terbiasa dipanggil Asep Sukana. Seperti kebanyakan anak-anak lain pada masa itu, Asep kecil gemar mendengarkan dongeng dan juga kawih yang dilantunkan sebelum tidur. Selain itu, Asep kecil juga menunjukkan kecintaannya terhadap berbagai hewan peliharaan, antara lain kucing, anjing, burung, dan ayam. Karena kecintaannya pada binatang, Asep kecil memberi nama pada binatang, termasuk anjing hitam miliknya dengan nama “Lutung”.


Darah seni yang di miliki Asep kecil merupakan warisan sang ayah yang mengalir dalam tubuhnya. Asep mulai tertarik dengan wayang golek ketika ia berumur 7 tahun (kelas satu). Selain karena faktor genetik, pertunjukan kesenian wayang golek  masih sangat digemari penonton waktu itu. Saat itu, belum ada “persaingan” dengan jenis seni lain seperti sekarang. Sukana kecil menunjukkan bakatnya dalam hobinya membuat wayang dari dahan pohon yang patah, tanah liat, dan daun singkong.

Suatu ketika, saat Asep Sukana sedang pentas di daerah Luragung Kabupaten Kuningan, ia membawakan wayang golek pada siang hari (ngabeurangan) dan Abah Sunarya menjadi dalang pada malam harinya. Kemudian Abah Sunarya berkata: ``Ngewa ngaran Sukana, gantikan ku Sunandar!" (Jelek nama Sukana, ganti saja namanya dengan Sunandar!). Akhirnya sejak itu, nama Asep Sukana berubah menjadi Asep Sunandar, sedangkan nama Sunarya diambil dari nama ayahnya yang pada akhirnya digunakannya. Hal ini lumrah terjadi pada masyarakat Sunda, dimana nama ayah sering digunakan setelah nama anak.

Kehidupan Pribadi Ki Asep Sunandar

Hampir selama 16 tahun lamanya Asep Sukana tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya sendiri. Karena selama ini Asep kecil tumbuh dalam belaian Ma Jaja, yang Asep anggap Ma Jaja adalah ibu kandung nya sendiri. Namun Ma Jaja memiliki hati yang bijak, pada akhirnya menjelaskan kepada Asep siapa ayah dan ibu kandungnya. Ma Jaja, Abah Sunarya, dan Tjutjun Jubaedah akhirnya bertemu, dan menjelaskan asal muasal serta silsilah keluarga mereka yang sebenarnya kepada Asep.

Saat Ki Asep Sunandar Sunarya berusia 17 tahun, ia menikah dengan seorang pesinden berusia 16 tahun bernama Euis Garnewi, yang juga merupakan anak dari seorang Camat di daerahnya. Dari pernikahan tersebut, Ki Asep dikaruniai seorang putri dan dua orang putra, yakni Maesaroh, Dadan Sunandar dan Dani. Namun takdir tak bisa dipungkiri, pernikahan mereka hanya bertahan tujuh tahun, dan mereka pun sepakat untuk bercerai secara damai.

Pada tahun 1978, saat Ki Asep berusia 23 tahun, Tuhan mengenalkan Elas Surastri, gadis berusia 18 tahun asal Lembang yang pada akhirnya dipersunting oleh Ki Asep. Dari pernikahan tersebut, Ki Asep dikaruniai seorang putra dan dua putri, yakni Dinar Mustika, Elin dan Gina Tridasanti. Tapi di sini tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana kehidupan kedepannya. Pernikahan Ki Asep dengan Elas pun kembali gagal. Pernikahannya dengan Elas Sulastri ini hanya bertahan selama enam tahun.

Saat Ki Asep berusia 29 tahun, ia menikah lagi dengan Ati, gadis 20 tahun asal Rancaekek, Bandung. Pernikahan Ki Asep dengan Ati dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Cipta Dewa atau sering dipanggil Ito. Pada tahun yang sama, Ki Asep kembali menikah dengan seorang gadis bernama Sumirat dari Cangkuang sebagai istri keduanya. Pernikahannya dengan Sumirat dikaruniai seorang putra bernama Gunawan Wibiksana. Begitulah perjalanan hidup seorang Ki Asep Sunandar yang tak pernah terbayangkan. Ki Asep sendiri tidak pernah menyangka bahwa dirinya harus menjalani kehidupan berumahtangga dengan melakukan poligami.

Dua tahun kemudian, sekitar tahun 1985, saat Ki Asep berusia 31 tahun, Ki Asep tertarik pada seorang gadis cantik  bernama Nenah Hayati yang berumur 15 tahun asal Kadupandak Kabupaten Cianjur. Pertemuan tersebut bermula saat Asep tampil di kawasan tersebut. Singkat cerita, mereka akhirnya sepakat menjalin hubungan seperti sepasang kekasih dan menikah pada 4 Maret 1985. Kedua istri Ki Asep yang sudah ada sebelumnya, akhirnya memilih untuk bercerai karena itu adalah pilihan terbaik setelah mereka mengetahui bahwa suaminya telah menikah kembali bahkan dengan seorang gadis cantik yang baru lulus SMP.
 
Pernikahan ini menghasilkan enam orang putra yakni : Batara Sena, Gysta Gumilar Agustina, Yogaswara Sunandar, Sunan Purwa Aji, Aria Sadewa dan Maulana Yusuf. Sampai saat ini, hanya satu istri Ki Asep Sunandar yang masih tinggal serumah. Ki Asep Sunandar bercerita tentang perjalan hidupnya yang pada akhirnya harus bergonta-ganti pendamping hidup. Hidup dan perjalan hidup seseorang adalah rahasia dari Tuhan Sang Pencipta. Mau itu dalang, atau presiden, atau hansip, bahkan ulama sekalipun, jika menurut Sang Maha Sutradara harus A ya pasti yang terjadi adalah A. Sudah terima saja semuanya dengan kesadaran, karena semuanya juga tidak ada yang bisa kita mau ataupun yang bisa kita tolak.

Penghargaan Atas Karya Ki Asep Sunandar

Tentu banyak alasan mengapa Ki Asep Sunandar berhasil meraih berbagai penghargaan di dunia pewayangan selama puluhan tahun menggeluti dunia pewayangan.  Jelas bahwa tanpa kesuksesan tidak  ada penghargaan, dan tanpa kerja keras tidak  ada kesuksesan. Jalan dari pekerjaan menuju kesuksesan memang merupakan sebuah tangga tersendiri, dan tangga tersebut hanya dapat dilintasi atau dicapai jika ragam kreativitas yang ditunjukkan oleh seseorang bersifat inovatif. Artinya Ki Asep Sunandar tidak sekedar menghasilkan karya, namun berkarya dengan inovasi dan kreativitas. Artinya kiprah Asep tidak stagnan melainkan dinamis dan terus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman, ngindung kawaktu mibapa kajaman (mengibukan pada waktu dan membapakan pada perkembangan jaman).

Selain penghargaan “ Individu Peduli Tradisi”,  Ki Asep Sunandar juga pernah mendapatkan penghargaan atas segala kreativitasnya, antara lain juara Dalang Pinilih I tingkat Jawa Barat pada acara Binojakrama Padalangan di Bandung pada tahun 1978. Empat tahun kemudian, yakni pada tahun 1982, Ki Asep kembali terpilih kembali menjadi juara pinilih kesatu di Bandung. Kurun waktu tahun 1982 hingga 1985, Ki Asep Sunandar Sunarya melakukan recording kaset untuk SP Records dan Wisnu Records. Dan pada tahun 1985, di Binojakrama Padalangan Subang, ia terpilih sebagai juara umum dalang tingkat Jawa Barat  dan  berhak memakai Bokor Kencana sebagai simbol keagungan untuk Padalangan Sunda di Jawa Barat.


Pada tahun 1986, Ki Asep Sunandar Sunariya diminta pemerintah  terbang ke Amerika Serikat sebagai duta seni. Pada tahun 1986 pula, Dian Records mulai merekam karya-karya Ki Asep Sunandar dalam bentuk kaset. Pada tahun 1993, Ki Asep Sunandar Sunariya diangkat sebagai dosen luar biasa selama dua bulan oleh  International Marionette Institute di Charleville, Perancis dan dianugerahi gelar Profesor oleh civitas akademika Perancis.

Di sekitaran tahun 1994, Ki Asep Sunandar Sunarya mulai tampil di luar negeri yaitu di beberapa negara Eropa seperti Belanda, Swiss, Perancis, Inggris dan Belgia. Kemudian pada tahun 1995, Ki Asep Sunandar kembali dianugerahi sebuah penghargaan yakni penghargaan Bintang Satya Lencana Kebudayaan. Hingga saat ini, Ki Asep Sunandar Sunarya telah mengeluarkan lebih dari 100 album rekaman (termasuk album bobodoran). Sebuah stasiun televisi swasta juga memproduksi acara khusus tentang Ki Asep Sunandar yang disebut "Asep Show''.


Mungkin itulah beberapa penghargaan resmi yang didapatkan Ki Asep Sunandar Sunarya selama mengabdikan hidupnya di dunia pewayangan. Masih ada banyak sekali sebenarnya penghargaan yang masuk ke katageri tidak resmi baik dari individu maupun organisasi. Meski begitu, dalam kehidupan sehari-hari Ki Asep Sunandar tetaplah seorang Asep Sunandar yang hidup sederhana, bersarung, menyilangkan kaki dan “ngobrol” dengan domba peliharaannya. Lalu apakah Ki Asep Sunandar Sunarya bisa disebut sebagai seorang Maestro dengan segala pencapain dan pengabdiannya selama ini dalam dunia pewayangan sunda ? tentu masyarakat umum lah yang akan menjawabnya dan bukan yang bersangkutan Ki Asep Sunandar.

Setidaknya yang bisa menilai hanyalah masyarakat umum, baik itu penggemar wayang Golek maupun pengamat wayang. Tentu saja penilaian ini mengacu pada banyaknya karya yang dihasilkannya. Yang jelas, beberapa tahun lalu, sebuah saluran televisi  merekam lintasan perjalanan Ki Asep Sunandar dalam bentuk suatu program bertajuk "Maestro". Fakta menunjukkan waktu bermainnya cukup luar biasa, bahkan antara tahun 1985 hingga 1990 ia kerap harus tampil sebanyak 40 kali dalam sebulan.


Kesehatan Ki Asep Sunandar mulai menurun karena kesibukan menghadiri berbagai undangan sebagai dalang dan penceramah. Tak ayal, Ki Asep Sunandar  memiliki riwayat penyakit jantung dan rencananya akan dibawa ke rumah sakit di Singapura untuk mendapatkan perawatan. Namun takdir tidak bisa kita ketahui. Pada tanggal 31 Maret 2014, Ki Asep Sunandar Sunarya meninggal dunia dalam perjalanan ke RS Al-Ihsan Bandung.

Seluruh masyarakat Indonesia baik pemerhati maupun penikmat kesenian wayang yang datang dari berbagai kalangan masyarakat merasakan pukulan dan sangat berduka dengan meninggalnya Ki Asep Sunandar. Salah satu putra terbaik bangsa yang memperjuangkan serta melestarikan wayang hingga dikenal dan diminati tak hanya masyarakat Sunda atau Indonesia saja, akan tetapi negara luar juga. Kini perjuangan Ki Asep Sunandar diteruskan oleh anak-anak beliau yang mewarisi keahlian sebagai dalang seperti Dadan Sunandar Sunarya dan yang lainnya. Meskipun kini Ki Asep Sunandar sudah tiada, jejak sejarah dan prestasinya tidak akan pernah lekang oleh waktu hingga kapan pun.

"APALAH ARTINYA SEBUAH NAMA TANPA KARYA" 
H. ASEP SUNANDAR SUNARYA

Komentar