Program 3 Zero Untuk Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia

 


Penyakit kusta atau lepra yang banyak orang menganggap bahwa ini adalah penyakit kutukan, ternyata masih ada di Indonesia. Para penderita penyakit kusta akan diasingkan oleh masyarakat disekitarnya. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae ini memang merupakan penyakit menular, akan tetapi bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Fakta tersebut terungkap dari perbincangan dalam talkshow Ruang Publik KBR bertajuk “Lika Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi” pada Jumat, 29 Oktober 2021.

Menurut dr. Udeng Daman - Technical Advisor NLR Indonesia penularan penyakit kusta bisa terjadi ketika terjadi interaksi dengan pasien yang terkena kusta ini bersin ataupun batuk. Penyakit kusta ini terbilang sangat lambat dalam berkembang biak itupun dengan masa inkubasi sekitar 5 tahun. Terjadinya penularan biasanya karena adanya interaksi jangka panjang dengan si penderita. Dampak yang diakibatkan oleh bakteri mycobacterium leprae ini dapat terjadinya kerusakan pada kulit, saraf, alat gerak, dan mata. 


Gejala awal yang harus kita ketahui tentang penyakit kusta ini diantaranya adalah terdapat bercak keputihan atau kemerahan pada kulit (seperti panu), terjadinya kerusakan saraf yang mengarah pada mati rasa di lengan dan kaki, melemahnya otot dan kelumpuhan terutama pada tangan dan kaki. Selain itu muncul banyak benjolan simetris pada kedua sisi tubuh, pasien akan kesulitan bernafas karena penumpukan kerak di selaput hidung, dan terjadi masalah penglihatan yang dapat menyebabkan kebutaan.

Narasumber yang Ruang Publik KBR hadirkan berikutnya adalah dr Ardiansyah - yang merupakan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam rangka memperingati Hari Dokter Nasional yang jatuh pada 24 Oktober lalu, dr Ardiansyah membagikan sedikit catatan Lapor Covid-19 virus corona yang telah merenggut jiwa 2.029 tenaga medis hingga 15 September 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35,9% atau 730 orang berprofesi sebagai dokter. Jumlah yang sangat besar. 

Jumlah angka kematian tenaga medis ini menjadikan Indonesia menempati posisi tertinggi di Asia dan ketiga terbesar di dunia. Data lainnya menjelaskan bahwa jumlah dokter di Indonesia menempati urutan terendah kedua di Asia Tenggara. Jadi hanya 0,4 per 1.000 penduduk, atau hanya 4 dokter untuk melayani 10.000 penduduk Indonesia. Jauh dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 2 dokter per 1.000 penduduknya. 

Sumber : katadata.co.id


Tidak hanya dokter, jumlah perawat dan bidan juga menempatkan Indonesia pada posisi terburuk diantara negara lain. Rasio perawat per 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang artinya dua orang melayani 1.000 penduduk di Indonesia. Tentunya dengan berkurangnya jumlah tenaga medis akan sangat berdampak pada layanan kesehatan yang diberikan, termasuk kelompok pasien penderita kusta. 

Mereka terpaksa putus obat dan tidak mendapat layanan kesehatan sebagaimana mestinya. Dampak lainnya, temuan kasus baru menurun akibat keterbatasan aktivitas pelacakan kasus. Demikian pula angka keparahan atau kecacatan yang terus meningkat. Karena penyakit ini menyerang lintas usia, penderita kusta harus segera mendapat pengobatan karena pasiennya bisa mengalami anggota tubuh terputus, kerusakan saraf besar di daerah wajah dan anggota gerak dan hilangnya saraf perasa yang disertai dengan kelumpuhan otot dan pengecilan massa otot.

Efek lanjutan penyakit kusta inilah yang membuat pengidap kusta mendapatkan stigma yang buruk di lingkungan sekitarnya. Dikucilkan, dengan kondisi fisik yang mengalami kerusakan belum dampak psikologi bagi penderita. Diskriminasi di lingkungan masyarakat yang mempersulit proses eliminasi total. Akibatnya penyakit terus berlanjut dan penularan tidak dapat dihentikan.


Fakta mencengangkan yang dikutip dari World Health Organization (WHO) menyatakan Indonesia, India, dan Brazil masuk kedalam  3 negara yang menjadi pantauan WHO karena masih memiliki pekerjaan berat memerangi penyakit kusta, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan berdasarkan data yang didapat dari dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi, terdapat penurunan kasus kusta dari 17.439 di tahun 2019, menjadi 16.704 total kasus kusta yang terjadi di Indonesia pada tahun 2020. Data tersebut meliputi 9.061 kasus penyakit kusta baru. 

Program 3 Zero Guna Atasi Penyebaran Kusta 

Untuk mengatasi penyebaran penyakit kusta hingga menuju proses eliminasi total, NLR yang merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan di Belanda pada 1967 bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi penyakit kusta dengan menggunakan program 3 zero, yaitu:

1. Zero Transmission (Nihil Penularan)  

Adalah upaya menghentikan transmisi penyakit kusta dengan cara berikut :

  • Peningkatan kapasitas wakil supervisor (wasor) kusta di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam menjalankan program rutin pengendalian kusta dan kegiatan inovatif.
  • Desa Sahabat Kusta untuk mendorong pencegahan penularan melalui deteksi dini dan pengurangan stigma di kalangan tenaga kesehatan dan masyarakat.
  • Pemberian obat pencegahan SDR (Single Dose Rifampicin) kepada kontak pasien kusta untuk mengurangi resiko penularan kusta. 
  • Upaya penghentian penularan kusta dengan pemberian obat pencegahan rifampisin dosis tunggal (kemoprofilaksis) pada kontak dekat ataupun komunitas yang berisiko tertular kusta
  • Pengendalian kusta di kawasan perkotaan dan terisolir
  • Memutus rantai penularan dengan pemberian obat pencegahan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan serta pelibatan tokoh masyarakat dalam mengurangi stigma kusta.

2. Zero Disability (Nihil Disabilitas)

Adalah upaya dalam mencegah terjadinya kecacatan dengan cara : 

  • Memfasilitasi orang dengan disabilitas karena kusta dan filariasis
  • Memantau pengidap kusta dengan disabilitas tingkat 2, bahkan setelah pasien menyelesaikan periode pengobatan. Karena disabilitas akibat kusta dapat menjadi semakin parah jika tidak dipantau/dirawat secara rutin
  • Konseling sebaya, pengidap kusta  dilatih untuk menjadi konselor dengan dibimbing oleh petugas kusta dan kesehatan jiwa di puskesmas. Agar mereka bisa melakukan konseling dan komunikasi tentang stigma, depresi dan kecemasan.

3. Zero Exclusion (Nihil Eksklusi) 

Adalah upaya untuk menurunkan stigma dengan cara :

  • Mardika (Masyarakat Ramah Disabilitas dan Kusta)
  • LEAP mendorong kebijakan yang inklusif di sektor ekonomi agar penyandang disabilitas, termasuk yang pernah mengalami kusta, dapat mengakses pekerjaan formal maupun informal.
  • Prioritaskan Anak dengan Disabilitas (PADI) bertujuan agar anak-anak dengan disabilitas dan yang pernah mengalami kusta dapat menikmati hak dasar mereka dan berpartisipasi secara penuh sesuai usia mereka di tengah masyarakat yang inklusif disabilitas.
  • Suara untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA) diselengarakan untuk meningkatkan kesadaran public akan isu kusta dan mendorong keterlibatan kelompok sasaran untuk mempromosikan isu kusta.

NLR Indonesia yang telah bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1975, dan bertransformasi pada 2018 menjadi entitas nasional. Dan saat ini berhasil bekerja sama dengan Radio KBRl melakukan kegiatan pelayanan penyadaran terhadap publik tentang isu kusta dan konsekuensinya melalui program SUKA.

NLR secara khusus menargetkan Generasi X dan Baby boomer dengan proyek SUKA dengan harapan kelompok ini bisa memahami isu kusta dan ikut serta mensosialisasikan kegiatan pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta melalui platform media yang mereka gunakan. Jika kalian Ingin mengetahui lebih lanjut mengenai penyakit kusta, atau bahkan ikut berpartisipasi? Silakan kunjungi  nlrindonesia.or.id untuk info lebih lanjut.

Komentar