Ubah Mindset Tentang Kusta. Tolak Stigma, Bukan Orangnya


Beberapa hari yang lalu tepatnya Rabu, 26 Januari 2022 saya berkesempatan mengikuti acara talkshow yang diselenggarakan oleh Ruang Publik KBR yang mengangkat tema "Tolak Stigma, Bukan Orangnya". Kegiatan ini digelar atas kerjasama dengan NLR Indonesia dalam rangka memperingati Hari Kusta sedunia atau World Leprosy Day (WLD) pada 30 Januari 2022 nanti.

Dalam beberapa tulisan saya sebelumnya pernah dibahas tentang kondisi tingginya kasus kusta di Indonesia yang menempati peringkat tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Tentunya bukan hasil yang membanggakan jika merujuk ke penilaian WHO tentang penanganan kasus Kusta di negeri kita ini. Minimnya informasi masyarakat terhadap gejala kusta menjadi salah satu penyebab mengapa angka penderita kusta masih tetap tinggi.

Terlebih dengan stigma negatif terhadap penderita kusta yang muncul di masyarakat, sehingga membuat penderita merasa minder dan enggan untuk memeriksakan diri hingga berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang menjadi "tembok penghalang" bagi pemerintah khususnya tenaga kesehatan dalam mengurangi angka penderita kusta di Indonesia.

Tolak Stigma, Bukan Orangnya 

Dalam talkshow Ruang Publik KBR ini hadir sebagai narasumber yakni dr. Astri Ferdiana yang merupakan Teknikal Advisor NLR Indonesia dan Al Qadri yang merupakan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) serta Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional (PERMATA). 

Beberapa point penting yang dibahas yakni seperti sejauh mana stigma bisa berdampak bagi pengidap kusta dan bagaimana pengalaman pribadi kusta terhadap stigma yang ada. Serta seberapa besar pengaruhnya terhadap upaya penanggulangan kusta di Indonesia. 

Menurut Pak Al Qadri yang merupakan salah satu narasumber acara talkshow tersebut, stigma negatif terhadap kusta merupakan salah satu masalah terbesar yang masih dihadapi penderitanya. Beliau  banyak bercerita mengenai stigma buruk yang pernah beliau alami selama ini. 

"Di Indonesia, masalah terbesar yang dihadapi penderita kusta adalah stigma. Menjadi penderita kusta itu sangatlah berat. Stigma negatif dari dulu hingga sekarang tak banyak kemajuan," ungkapnya.

Pemberian edukasi kepada masyarakat, misalnya saja mengenai penyakit kusta yang bisa sembuh dan penderitanya bisa hidup berdampingan secara normal, itu susah. Sehingga penanganan penyakit kusta ini menjadi sangat susah. Contoh nyata yang dialami oleh beliau saja yang notabene sudah sembuh total, bahkan aktif dalam organisasi kusta, masih saja sering mendapatkan diskriminasi. 

Baca juga : PROGRAM 3 ZERO UNTUK PEMBERANTASAN PENYAKIT KUSTA DI INDONESIA

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati 

Jargon diatas saya pikir bukan hanya sebatas jargon biasa saja, akan tetapi menjadi sebuah pola pemikiran bagi kita dalam menangkal sebuah penyakit, terlebih penyakit kusta. Tahap awal yang harus kita lakukan adalah memahami tentang penyakit tersebut, gejala awal, bahkan dampak terberat yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.

Penyakit kusta atau lepra atau leprosy merupakan penyakit infeksi kronis namun dapat disembuhkan, terutama menyebabkan lesi kulit dan kerusakan saraf. Kusta sendiri disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Kondisi ini terutama memengaruhi kulit, mata hidung dan saraf perifer. Penyakit kusta sebenarnya bisa diketahui dari deteksi awal, yakni munculnya bercak putih atau merah yang terasa tebal dan mati rasa yang menunjukkan kecacatan di syaraf.

Penularan kusta bisa melalui kontak kulit yang lama dan erat dengan pengidapnya. Di samping itu, kusta juga bisa ditularkan lewat inhalasi alias menghirup udara. Alasannya bakteri penyebab kusta dapat hidup beberapa hari dalam bentuk droplet di udara. Namun, sebenarnya penyakit kusta bukanlah penyakit yang mudah untuk menular.

Hal yang perlu diperhatikan adalah kusta juga bisa menular lewat kontak langsung dengan binatang tertentu, seperti armadillo. Kusta memerlukan waktu inkubasi yang cukup lama antara 40 hari sampai 40 tahun. Rata-rata membutuhkan 3-5 tahun setelah tertular sampai timbulnya gejala.

Penanganan Kasus Kusta di Indonesia

NLR Indonesia menjadi satu-satunya organisasi yang terus fokus terhadap penurunan angka penderita kusta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan organisasi untuk orang yang pernah mengalami kusta salah satunya seperti PERMATA.


Menurut  dr Astri dari NLR Indonesia, masih ada enam Provinsi di Indonesia yang masih belum bisa menurunkan atau menekan angka kasus sampai di bawah 1/1000 penduduknya. Sedangkan di tingkat Kabupaten,  dari 514 kabupaten di Indonesia, masih ada sekitar 98 kabupaten yang masih mengalami masalah kusta di daerahnya, terutama di daerah Indonesia Timur, Jawa Barat, Jawa TImur, Jawa Tengah masih ada kabupaten yang belum berhasil mengatasi kusta sampai optimal.

"Permasalahan kusta yang utama selain dari penyakitnya sendiri, juga terletak pada stigma yang muncul di masyarakat. Padahal kusta sendiri bisa disembuhkan," ungkap dr Astri. Stigma dari masyarakat membuat penderita kusta jadi tidak bisa menerima dirinya dan mengakui dirinya terkena kusta apalagi diajak untuk bersosialisasi dan bergabung dalam organisasi untuk menyampaikan terkait kusta ini sangat minim. Sehingga agak berat untuk menghapus stigma ini.

Baca juga : PAHAMI DAN CEGAH TERJADINYA DISABILTAS KARENA KUSTA

Apalagi orang disabilitas yang disebabkan karena kusta mengalami double diskriminasi terlebih lagi perempuan yang mengidap kusta.  Di tempat asal Pak Al Qadri di Kampung Bugis Sulawesi Selatan, jika ada orang yang terkena kusta  perempuan tidak ada yang mau melamar dan laki-laki tidak ada yang mau menerima lamarannya. Bahkan di Sulawesi Selatan, ada delapan per kampungan yang penduduknya termasuk OYPMK dan masih mengidap  kusta. 

Coba bisa dibayangkan ya betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan dari stigma negatif terhadap kusta bagi kehidupan seseorang. Sayangnya hingga saat ini pemahaman masyarakat terkait kusta masih sangat minim, sehingga banyak orang yang masih memiliki pemahaman yang keliru terhadap kusta. 

Dukung Program 3 Zero Menuju Indonesia 2030 Nihil Kusta 


Sejalan dengan tema Hari Kusta yang diangkat di tahun ini, yakni Mari bersama Hapus stigma dan diskriminasi kusta!. Melalui NLR Indonesia dr Astri mengajak semua pihak, baik individu, kelompok, masyarakat, pemerintah, swasta, kesehatan maupun non kesehatan, industri, akademisi, universitas, dan semua sektor untuk bekerjasama mewujudkan Indonesia zero leprosy, zero disability, dan zero exclusion. 

Sudah terlalu lama Indonesia bergelut dengan kusta dan sudah terlalu lama orang yang mengalami kusta mendapatkan stigma negatif dan diskriminasi dan ini sudah menuju 2030 di mana tujuannya Indonesia harus nihil penularan kusta, nihil disabiitas akibat kusta, dan nihil eksklusi (stigma dan diskriminasi).

Sebagai penutup talkshow ini dr Astri juga kembali mengingatkan jika kusta bisa disembuhkan, obatnya ada  dan disediakan gratis di puskesmas. Lebih cepat berobat maka penanganannya lebih mudah dan terhindar dari kerusakan organ. Ketika ada bercak di kulit-diperiksa di puskesmas-minum obat teratur- sembuh. Semoga semua program yang dicanangkan bisa sukses dan berhasil membawa Indonesia nihil kusta di tahun 2030.



Komentar